ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww

Ekonom Berpendapat Bahwa Kebijakan PPN Yang Diterapkan Secara Selektif Dapat Berisiko Menimbulkan Kebingungan Di Kalangan Masyarakat

Jumat, 06 Des 2024

Direktur Eksekutif Center for Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan bahwa rencana penerapan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) secara selektif dapat menimbulkan kebingungan.

Dalam pertemuan antara pemerintah dan DPR pada Kamis (5/12/2024), disepakati bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025.

Namun, penerapan tarif ini akan bersifat selektif, terutama ditujukan pada komoditas tertentu, dengan fokus pada barang-barang mewah.

Sementara itu, untuk barang dan jasa umum, tarif yang berlaku tetap 11 persen.

Menurut Bhima, dalam wawancaranya dengan ANTARA di Jakarta pada hari Jumat, Indonesia belum pernah menerapkan sistem multitarif untuk PPN.

"Indonesia selama ini menerapkan PPN dengan satu tarif, sehingga perbedaan antara PPN 12 persen untuk barang mewah dan PPN 11 persen untuk barang lainnya merupakan yang pertama kali dalam sejarah," jelas Bhima.

Oleh karena itu, penerapan multitarif ini berpotensi menimbulkan kebingungan di kalangan pelaku usaha dan konsumen.

Sebagai contoh, jika sebuah toko ritel menjual barang yang dikenakan tarif PPN dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM), penjual harus menghitung tarif yang berbeda untuk setiap jenis barang yang dijual.

Ketika menangani administrasi perpajakan, ada kemungkinan bahwa faktur pajak akan menjadi lebih rumit.

Meskipun waktu pelaksanaan PPN 12 persen semakin dekat pada Januari 2025, aturan yang ada tampak tidak jelas. Seharusnya, untuk memperhatikan daya beli masyarakat, perlu diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang menghapus Pasal 7 dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) mengenai PPN 12 persen. Ini adalah solusi yang paling tepat, ungkapnya.

Dalam konferensi pers di Kantor Presiden, Jakarta, pada Kamis (5/12/2024), Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menyatakan bahwa usulan untuk penghitungan PPN agar tidak diterapkan dalam satu tarif diajukan oleh DPR, sehingga barang-barang kebutuhan pokok akan dikenakan pajak yang lebih rendah dibandingkan dengan ketentuan saat ini.

Ia menjelaskan bahwa hasil pertemuan antara DPR dan pemerintah memutuskan bahwa barang kebutuhan pokok dan layanan publik, seperti jasa kesehatan, jasa perbankan, dan jasa pendidikan, tidak akan dikenakan pajak 12 persen, melainkan tetap menggunakan tarif pajak yang berlaku saat ini, yaitu 11 persen.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mengenakan PPN untuk komoditas bahan pokok dan barang penting, termasuk fasilitas transportasi publik, pendidikan, dan kesehatan.

Ketentuan mengenai barang yang bebas PPN juga tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 49 tahun 2022 tentang PPN yang dibebaskan serta PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang tidak dipungut atas impor dan/atau penyerahan barang kena pajak tertentu dan/atau penyerahan jasa kena pajak tertentu serta pemanfaatan jasa kena pajak tertentu dari luar daerah pabean.

Menurut Airlangga, pemerintah sedang mempersiapkan paket kebijakan ekonomi yang mencakup pembahasan mengenai PPN dan ditargetkan akan selesai dalam waktu satu pekan ke depan.


Tag:



Berikan komentar

Komentar