JAKARTA. Masalah penurunan prevalensi stunting masih menjadi tantangan menjelang akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pada tahun sebelumnya, angka prevalensi stunting masih berada di sekitar 21%. "Meskipun penurunannya hanya sedikit 0,1% tahun lalu, namun segala upaya keras yang telah dilakukan oleh daerah, oleh posyandu harus diapresiasi," ujar Jokowi di Posyandu RPTRA Kebayoran Baru Jakarta, Selasa (11/6). Pada permulaan masa kepemimpinannya pada tahun 2014, tingkat prevalensi stunting berada di sekitar 37%. Pada tahun ini, targetnya telah berhasil menurun menjadi 14%. Jokowi menegaskan, stunting bukan hanya masalah makanan atau gizi semata. Namun juga terkait dengan sanitasi, lingkungan, dan air yang berdampak pada penurunan stunting. Oleh karena itu, penurunan stunting merupakan upaya bersama yang terintegrasi antar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Sebelumnya, dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHPS) Semester II-2023, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan masih terdapat permasalahan yang jika tidak segera diperbaiki akan mempengaruhi efektivitas upaya Kementerian Kesehatan, BKKBN, BPOM, dan pemerintah daerah (Pemda) dalam percepatan penurunan prevalensi stunting. Salah satunya, Kementerian Kesehatan belum sepenuhnya melaksanakan kebijakan perencanaan dan penganggaran program percepatan penurunan stunting (PPS) tahun 2022, PPS di BKKBN belum didukung dengan regulasi yang memadai termasuk regulasi mengenai mekanisme penyediaan data sasaran PPS. Selain itu, regulasi pengawasan pangan fortifikasi di BPOM belum sepenuhnya memadai, dan pemerintah daerah belum sepenuhnya mengintegrasikan kebijakan percepatan penurunan prevalensi stunting.
404
MIND ID dan Dedikasi terhadap Transformasi Inovasi Sosial demi Keberlanjutan
IPC TPK Mendapatkan Penghargaan di Ajang Internasional LACP Awards 2024